AI Generatif: Antara Antusiasme Warganet dan Keraguan Korporasi

Dalam era digital yang terus berkembang, kecerdasan buatan (AI) generatif telah menjadi sorotan utama. Teknologi ini memungkinkan pembuatan konten baru seperti teks, gambar, dan video berdasarkan data yang ada. Namun, meskipun warganet semakin mengandalkan AI generatif untuk berbagai kebutuhan, sejumlah korporasi justru mulai menarik diri dari proyek-proyek terkait teknologi ini.

AI Generatif, Antara Antusiasme Warganet dan Keraguan Korporasi


Lonjakan Penggunaan AI Generatif oleh Warganet

AI generatif telah merambah ke berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Warganet memanfaatkan teknologi ini untuk mencari informasi, menyelesaikan tugas sekolah, hingga membantu pekerjaan profesional. Beberapa platform AI generatif yang populer di antaranya adalah ChatGPT dari OpenAI, Llama milik Meta, Gemini dari Google, dan DeepSeek.

Data dari Semrush menunjukkan bahwa pada April 2025, ChatGPT menerima sekitar 4,46 miliar kunjungan dengan rata-rata durasi kunjungan hampir 15 menit. CEO OpenAI, Sam Altman, mengungkapkan bahwa ChatGPT memiliki sekitar 500 juta pengguna aktif per minggu. Lonjakan ini sebagian besar dipicu oleh peluncuran fitur baru seperti ChatGPT 4o image generation, yang memungkinkan pengguna mereproduksi gambar menjadi anime bergaya Studio Ghibli.

Korporasi Mulai Menarik Diri dari Proyek AI Generatif

Sementara warganet menunjukkan antusiasme tinggi terhadap AI generatif, situasi berbeda terjadi di kalangan korporasi. Laporan dari S&P Global berjudul "Voice of the Enterprise: AI & Machine Learning, Use Cases 2025" mengungkapkan bahwa sekitar 46% proyek AI generatif dibatalkan di tengah proses implementasi. Persentase perusahaan yang menghentikan proyek AI generatif meningkat dari 17% tahun sebelumnya menjadi 42%.

Beberapa alasan di balik penarikan diri korporasi dari proyek AI generatif meliputi:

  • Kegagalan dalam Mengintegrasikan Teknologi: Banyak perusahaan menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan AI generatif ke dalam sistem teknologi informasi mereka yang sudah ada.

  • Kekurangan Talenta Teknis: Kurangnya tenaga ahli yang memahami dan mampu mengelola teknologi AI generatif menjadi hambatan signifikan.

  • Kekhawatiran terhadap Akurasi dan Keamanan: Perusahaan khawatir terhadap potensi kesalahan yang dapat ditimbulkan oleh AI generatif, serta implikasi hukum dan etika yang mungkin muncul.

Contohnya, perusahaan teknologi finansial Klarna di Swedia mengakui bahwa adopsi AI dalam layanan pelanggan mereka telah berjalan terlalu jauh, sehingga memutuskan untuk mengurangi penggunaannya.

Siklus Hype dan "Palung Kekecewaan"

Fenomena ini mencerminkan siklus hype dalam adopsi teknologi baru. Menurut John Lovelock dari Gartner, siklus ini dimulai dengan antusiasme tinggi terhadap teknologi baru, diikuti oleh ekspektasi yang tidak realistis, dan akhirnya mencapai titik "palung kekecewaan" ketika teknologi tersebut tidak memenuhi harapan.

Namun, Lovelock juga menekankan bahwa teknologi seperti AI generatif akan terus berkembang dan memperbaiki diri. Perusahaan yang saat ini menarik diri mungkin akan kembali mengadopsi teknologi ini di masa depan, terutama jika pesaing mereka berhasil memanfaatkannya secara efektif.

Masa Depan AI Generatif: Antara Peluang dan Tantangan

Meskipun menghadapi tantangan, AI generatif memiliki potensi besar untuk merevolusi berbagai industri. Dalam sektor pendidikan, misalnya, teknologi ini dapat digunakan untuk menciptakan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Di bidang kesehatan, AI generatif dapat membantu dalam analisis data medis dan pengembangan obat baru.

Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan strategis. Perusahaan harus memastikan bahwa mereka memiliki infrastruktur yang memadai, tenaga ahli yang kompeten, dan kebijakan yang jelas terkait penggunaan AI generatif.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama